[Cerpen] Cerita Cinta Kurnia

Cerita Cinta Kurnia
Deras sekali sore ini. Rasanya tak satu tempat pun sanggup menghindari guyuran hujan yang mengamuk ini. Rupanya Allah benar-benar menyayangi kota ini hingga rahmatNya tercurah hebat di sini. Sepanjang jalan Kurnia berlari berkecipak. Tak peduli lagi dia pada muncratan air di bawah kakinya. Hanya satu yang dia inginkan: sampai di rumah yang hangat dan minum teh hangat yang agak kental dan kelat, apalagi kalau didampingi pisang goreng hangat and renyah. Hmmh bakal enak di rumah nanti, pikirnya. Gamis biru lautnya sudah cukup basah di bagian bawah lututnya. Payung bunga-bunga biru yang cantik itupun terombang-ambing seirama lambaian larinya.

Sudah hampir sampai rumah, batinnya. Setengah kilo lagi. Bagi Kurnia yang memang hobi berolahraga, berjalan kaki dari rumah ke tempat kerjanya di toko bunga itu sangat membahagiakan. Dia suka menyebutnya sebagai ‘indahnya’ memanjakan kaki. Kakinya akan bebas asam urat. Ahaay! Otot-otot yang sehat, katanya. Ah, akhwat yang sporty. Oh, bukan. Dia bukan lah seorang wanita yang berbadan kekar. Badannya semampai. Tidak terlalu tinggi, tidak juga terlalu pendek. Biasa saja. Mencari ukuran baju, dia terbilang mudah. Tidak perlu yang triple XL. Dia juga tak pernah memotong dan mempermak baju-baju untuk mengecilkannya. Wanita yang sangat biasa. Tapi sehat. Suka sekali dia memanjakan diri dengan olahraga yang rutin. Bila terlalu sibuk, dia cukup melakukan peregangan yang tidak banyak makan waktu. Sepuluh menit pun cukup. Itu sudah termasuk badan dan wajah. Wajah? Iya, mengapa –kau tanya? Karena dia juga cukup peduli dengan kenyamanan. Dia ingin merasa nyaman memandang dirinya di cermin. Oho! Apakah Kurnia merasa tua? Kau pasti akan geli kalau tahu berapa umurnya. Dia baru 35 tahun kok. 35 tahun kok baru. Iya! Karena Kurnia masih single. Masih gadis ting-ting. Masih belum ada pemilik sahnya secara hukum agama dan hukum negara.

Setengah kilo terakhir dilaluinya dengan senyum manis yang tersungging di bibir mungilnya. Orang mungkin akan heran. Bertanya-tanya mengapa gadis semanis dia, sebaik dia, kok belum menikah. Kurnia pasti hanya akan tersenyum bila ada yang mengungkapkan pertanyaan penting itu padanya. Satu yang dikatakannya: Allah memang belum berkenan. Semakin bertambah umurnya, semakin matang dia menyikapi reaksi orang-orang yang ingin tahu.

Adik-adiknya semua sudah berkeluarga dan dia mempunyai banyak keponakan dari mereka. Apakah itu mengganggunya? Dulu mungkin, tapi sekarang dia lebih mensyukuri hidupnya dan menyayangi keponakannya setulus hatinya. Seperti dia mensyukuri hujan deras dan belepotan lumpur di jalan yang banyak disumpah-serapahi banyak orang.

Di belokan gang ke arah rumahnya, sesosok kurus tinggi yang berlari terburu-buru dengan meneduhi kepalanya dengan payung juga, berlawanan arah dengannya. Hampir saja mereka bertabrakan kalau saja Kurnia tak segera mengerem langkahnya.

“Eh, astaghfirullah, ma’af Pak Shidiq. Buru-buru ya?” sapa Kurnia.

“Iya, ma’ap ya Mbak Nia.” Jawab Shidiq sambil terus berlari.

Hmmh, pikir Kurnia, apa yang dikejar Pak Shidiq ya? Sore begini. Masa mau pergi juga ke TPQ di samping masjid besar itu. Anak-anak pastilah sudah meliburkan diri kalau hujannya seperti ini. Rajin amat Pak Shidiq.

Shidiq ternyata berlari ke ujung jalan. Sambil berlari dia berpikir,”Mbak Nia itu…hujan deras gini masih saja ceria.” Sambil tersenyum dia mengingat gamis biru Kurnia yang setengahnya sudah kuyup. Ada seseorang yang melambaikan tangannya di warung ujung jalan itu.

“Abii!”, seru perempuan tiga puluhan tahun. Blus bunga-bunga kecil merah mudanya tampak serasi dengan rok merah hati polos. Berlari mendekat, Shidiq mencium pipi sang perempuan di kedua sisinya. Memerah pipi sang nyonya.

“Abi…malu ah, tempat umum nih,” bisik Yunia.

“Duh, istriku, aku paling cinta pas dikau malu-malu begitu. Gemesin. Yuk, kita pulang,” ajak Shidiq. Duuh, romantisnyaa. Betapa tersanjungnya hati Yunia. Suami gokilnya selalu bisa membuat hatinya ikut tersipu. Ge er total pokoknya. Gokil dan romantisnya hanya untuk dia seorang sih.

Sambil memeluk bahu Yunia, Shidiq memayungi perempuan tercintanya. Sudah 10 tahun bahtera mereka berlayar. Hingga kini belum ada tawa ceria dan celoteh anak di rumahnya. Rupanya Tuhan belum hendak merizkikan seorang buah hati pun pada sejoli yang selalu kasmaran setiap harinya ini.

Rinai hujan masih terus menemani.

Kurnia memasuki halaman rumah yang asri. Pagar kayu setinggi pinggang yang kokoh dan gilig menyambutnya. Rambatan hijau menggulung tiang-tiang buatan yang sengaja ditanam untuk meleluasakan gerak sang hidup. Rumah joglo itu nampak kokoh menyambut kedatangannya. Sekokoh pendirian kakeknya yang belakangan ini selalu merecokinya dengan penuh semangat. Selalu saja masalah pernikahannya yang dibahas saat kunjungan ke rumah beliau.

Kakek Kurnia masih cukup sehat di usianya yang ke 80. Rupanya hobi olahraga sudah menurun dalam garis keluarga mereka. Pantas saja Kurnia pun suka sekali berolahraga.

“Assalaamu’alaikum, Kek.”

“Wa alaikum salaam, Nduk. Gimana? Apa sudah nemu jodoh? Sudahlah, biarkan Kakek membantumu.” Belum apa-apa Kakek sudah menodongnya dengan masalah perjodohan. Selama ini Kurnia sudah cukup halus menenangkan Kakeknya.

Sambil mencium punggung tangan Kakek, Kurnia tersenyum menenangkan. “Apa Kakek punya calon buat Nia, Kek? Nia ngga keberatan kok dikenalkan. Tapi Kakek janji ya, pada akhirnya keputusan ada di tangan Nia. InsyaaAllah, Nia akan shalat istikharah untuk memohon pilihan yang terbaik dari Allah. Menurut pandangan Allah. Bukan menurut Nia.” Sambil menyiratkan bahwa bukan pula pilihan terbaik menurut kakeknya, Nia meremas tangan kakek dengan kasih sayang. Dengan matanya, Nia berusaha menunjukkan rasa terima kasihnya atas perhatian dan limpahan cinta kakeknya.

Mata tua itu berkaca-kaca. Mencari-cari sebentuk gelisah di jernih mata Kurnia. Tapi gagal. Karena beliau hanya menemui telaga ketenangan yang ikhlas menerima takdir Tuhan atas lambatnya kedatangan jodoh. Kurnia selalu qana’ah, nerimo, dan berbaik sangka pada Kekasih yang selalu ditunggunya dengan tak sabar di setiap waktu adzan. Curahan hatinya, damba hatinya, tentang sesosok pria yang bisa menggenapkan agamanya, yang bisa melengkapi keping hidupnya, menambal galau benaknya, memimpin dia ke sebuah level yang lebih baik, lebih dekat, lebih intim, kepada Allah, dan mendapatkan amanah dariNya melaluinya, selalu membasahi harapan-harapan yang dilantunkan mesra oleh bibirnya dengan penuh harap. Hanya mengiba, merayu, tanpa memaksa Yang Maha Mendengar untuk mempercepat takdirnya. Kurnia sangat mengerti adab dan tata krama untuk memenangkan ridha kekasihnya itu. Kurnia selalu ingin menikmati proses hidupnya, walaupun orang lain tak melihat hidupnya seindah itu.

“Abi tadi papasan sama Mbak Nia di jalan pas mau jemput Ummi.”

Bahu Yunia agar berjengit mendengar nama itu disebut oleh suaminya. Tentu saja Shidiq melihat reaksi Yunia, tapi dia teruskan saja ceritanya. “Lucu sekali. Kalau Ummi lihat pasti udah ketawa.”

“Memang Mbak Nia kenapa, Bi? Jatuh? Kok bisa lucu?” tanya Yunia ramah sambil meneruskan menyeruput susu coklat hangat favoritnya. Mata jelinya melirik raut wajah suaminya. Yunia suka sekali bila suaminya sudah mulai bercerita. Menikmati suara bariton yang serak itu. Dan mimik wajah kocak yang hanya miliknya karena Shidiq jarang selepas itu bila bergaul dengan publik. Ja’im. Jaga imej.

“Ngga jatuh sih, Mi. Cuma kelihatannya heboh sendiri gitu. Aneh kan. Rumah udah deket, hujan deras, harusnya bisa lebih nyantai gitu biar dia ngga terlalu basah. Gamis biru lautnya basah selutut deh jadinya. Kalau orang lain mungkin sudah kusut wajahnya dengan hujan deras dan baju basah gitu. Tapi Mbak Nia lucu. Dia malah senyum-senyum kesenangan dan lari-lari kecil menerobos hujan. Saking asyiknya sampe kami hampir bertabrakan.” Jelas Shidiq panjang lebar sambil tetap mengawasi reaksi istrinya.

Yunia menelan ludah. Lalu tertawa kecil. Berusaha menutupi kegugupannya. Tapi dia yakin Shidiq pasti sudah menangkap kegelisahannya. Yunia memang tak pandai menutupi perasaannya. Apalagi di depan Shidiq, cintanya. Dua minggu terakhir Yunia berusaha menata hati untuk menyampaikan maksudnya pada Shidiq. Tapi… nyalinya belum cukup kuat untuk menerima penolakan apapun dari suaminya ini.

“Ummi? Kenapa? Sejak Abi menyinggung Mbak Nia, Ummi jadi agak aneh deh.”

Kelihatannya Abi penasaran padaku, pikir Yunia. Mengepalkan genggaman tangannya, Yunia membulatkan tekad untuk menyampaikan maksudnya sekarang.
“Mmm, sebenarnya Ummi ingin menyampaikan sesuatu ke Abi. Ini ada hubungannya dengan Mbak Nia.” Kata-kata itu menggantung di udara. Yunia menunggu sebentar untuk melihat reaksi Shidiq. Dahi Shidiq berkerut sedikit di tempat alisnya bertemu.

“Oh ya? Ada apa dengan Mbak Nia?” tanya Shidiq datar, sambil sedikit menyesap teh kental di pinggiran mugnya.

“Mbak Nia itu subhanallah, Bi, sabar sekali. Diuji sedemikian rupa oleh Allah, tapi bisa bersabar. Ngga pernah sedikit pun terlihat menyesali takdir. Maksud Ummi… lihatlah umur Mbak Nia yang sudah kepala tiga, bahkan 5 tahun lagi sudah 40 tahun. Orangnya juga sangat lembut pula. Sama Ummi pun dia sangat sayang, seperti pada adik sendiri. Ikhlas sekali orangnya.” Tutur Yunia, hati-hati sekali dia pilih kata-katanya sambil dia terus memperhatikan raut wajah suaminya.

“Iya, Abi pikir juga begitu. Kegiatan sosialnya juga lumayan banyak, Abi sering lihat dia di acara-acara sosial Kecamatan atau Kotamadya.” Tambah Shidiq. Komentar suaminya membesarkan hati Yunia.

“Ummi pun sangat sayang sama Mbak Nia, Bi. Seandainya saja dia keluarga kita. Pasti sangat menyejukkan, tinggal bersama seorang akhwat yang sabar dan ikhlas seperti itu. Lalu suatu saat Mbak Nia akan punya anak, yang… mewarisi sifat-sifat utama ibunya. Dan Ummi dengan senang hati ikut merawat bayi yang manis itu.” Mata Yunia menerawang membayangkan ucapannya.

Shidiq merasa tenggorokannya tercekat. Tak yakin pada apa yang baru saja didengarnya. Berdehem membersihkan tenggorokannya, Shidiq bertanya, “Apa maksud Ummi?”

“Bi, kita sudah belasan tahun menikah dan sampai sekarang Allah masih belum menitipkan amanah pada kita. Yaa, pasti Allah punya pertimbangan sendiri.” Yunia menggigit bibir atasnya sedikit, seolah itu bisa mengatasi rasa groginya.

“Tapi dengan adanya Mbak Nia yang sangat shalihah di depan mata kita, dan belum juga menikah di usianya sekarang, Ummi jadi berpikir apakah mungkin ini skenario Allah untuk kita bertiga agar bisa bahagia bersama-sama…Abi, mengerti kan maksud Ummi?” retoris Yunia pada Shidiq yang hanya memandang istri dengan shock.

“Tidak, tidak, Abi ngga ngerti maksud Ummi apa. Bisa diperjelas lagi?” gagap Shidiq. Jelas sekali dia sangat terkejut dengan pikiran istrinya walaupun saat ini dia sudah bisa meraba kemana arah pembicaraan istrinya.

“Ummi ingin Abi melamar Mbak Nia untuk jadi istri Abi juga.” Melihat mata Shidiq semakin membelalak, Yunia segera menyambung ucapannya.

“Ummi tahu ini aneh. Istri mana yang mau dimadu, pasti gitu pikir orang kan. Tapi Ummi akan sangat mencintai Mbak Nia sebagai sesama istri, Bi. Ditambah lagi Mbak Nia akan bisa memberikan anak bagi Abi, bagi kita, jika Allah mengizinkan. Jika memang rahim Ummi ngga bisa normal lagi, sudahlah. Tapi Abi kan masih bisa punya anak dari yang lain. Dan menikah lagi itu sah. Lagipula, Ummi yakin Abi sanggup menjalaninya. Ummi akan selalu membantu Abi jika ada kesulitan. Dan Mbak Nia pun pasti membantu, seandainya semua ini terwujud.” Sudah tersampaikan, batin Yunia. Aku sudah selesai, sekarang tinggal bagian Abi, batinnya lagi.

Shidiq terpekur memandang mug di tangannya. Lalu memejamkan matanya yang sayu. Lama dia melakukan itu, sampai Yunia hampir menyangkanya tertidur. Saat membuka matanya, Shidiq mengambil napas panjang. Memenuhi paru-parunya dengan udara segar. Bau tanah yang tersiram hujan.

Perlahan. Sangat pelan, seperti mengeja kata-katanya, Shidiq setengah berbisik, “Ummi sayang… Yunia cintaku… Love of my life… Subhanallah, Cinta. Maha Suci Allah yang menciptakan hati sejernih hatimu. Abi tak pernah berhenti bersyukur atas karunia itu.” Shidiq lalu diam sejenak, membiarkan butiran bening lolos dari matanya.

Melihat itu, Yunia menggapai suaminya dan mengusap pipi suaminya yang basah oleh dua mata air itu. Memandang sedih dan concern pada Shidiq…sambil bertanya-tanya, apakah yang menjadi keputusan suaminya. Yunia memindahkan mug dari tangan Shidiq dan mengambil kedua belah telapak tangan yang lebih besar dari telapak tangannya sendiri. Dielus-elusnya tangan-tangan Shidiq dengan kasih sayang. Diusap-usapnya dengan lembut ibu jarinya ke punggung tangan suaminya. Berharap itu bisa mempengaruhi apapun keputusan suaminya.

“Seandainya kita bisa punya anak kita sendiri, Mi, pasti dia akan sejernih Ummi.” Senyum kecil tersungging di bibir Shidiq. Lalu sebuah tawa kecil yang sedih menyusul. Yunia ikut tersenyum dan tertawa sedih bersamanya. Lalu tiba-tiba Shidiq merengkuh Yunia ke dalam pelukannya. Memeluknya sangat erat sampai Yunia agak sesak napas dibuatnya. Yunia bisa merasakan Shidiq memeluk dan menghirup udara dalam rambutnya. Shidiq sedang berusaha mendamaikan dirinya sendiri. Dia tak ingin mengambil keputusan yang mengecewakan istrinya. Tapi dia terlalu mencintainya untuk mengabulkan permintaannya.

“Abi sangat mencintai Ummi. Ummi tahu itu kan?” retoris Shidiq pada Yunia. Dicarinya mata Yunia untuk mengkonfirm jawabannya. Yunia mengangguk cepat sambil mengusap pipi Shidiq yang bercambang.

“Abi juga sadar melamar Mbak Nia bisa menjadi solusi buat kita bertiga. Abi juga suka dengan karakter dan akhlaq Mbak Nia.” Kata-kata lugas Shidiq mencerahkan wajah Yunia. Dan itu membuat Shidiq makin sulit meneruskan maksudnya. Dia benci harus menyakiti hati bening itu.

“Tapi Abi benci harus menduakan Ummi. Abi terlalu mencintaimu, Cinta. Abi tak ingin menikah lagi. Abi ingin bertemu lagi di surga hanya denganmu, hanya untukmu.”

“Bukankah jika beristri lebih dari satu, jika saling menyayangi, kita semua juga bisa berkumpul lagi di surga Allah, Bi?”

“Abi…bukankah menikahi Mbak Nia juga merupakan ibadah? Sama seperti semua jenis ibadah yang selama ini kita lakoni…kita hanya harus ikhlas dan bersungguh-sungguh. Itu saja. Dan Ummi sangat yakin, akan baanyak sekali pelajaran yang bakal kita ambil dalam setiap detik ibadah ini. Sama atau bahkan mungkin lebih dari pernikahan kita selama ini.”

“Mungkinkah Abi mengkhawatirkan pandangan masyarakat jika Abi berpoligami?” selidik Yunia. Shidiq menggeleng, “Tentu saja tidak. Ini benar-benar antara kita dan Allah.”

“Izinkan Abi untuk memohon jalan dari Allah dulu ya, Mi.” Pinta Shidiq. Yunia memberikan senyuman termanisnya pada belahan jiwanya.

Senyap. Hanya sisa-sisa rintik hujan yang terdengar dari ruang tamu mungil yang asri itu. Ketentraman, kasih sayang, dan cinta dari sepasang kekasih yang saling merelakan menguarkan aroma segar surgawi di dinginnya malam.

Kurnia menangis di sajadahnya malam ini. Bukan karena sedih. Tapi karena terharu oleh betapa Pemurahnya Allah padanya. Mimpi-mimpi yang memantapkan hatinya untuk mengiyakan lamaran suami-istri Shidiq-Yunia. Hatinya haru oleh syukur.

Kali ini bukan kemantapan hati dan pilihan lagi yang dimohonnya pada Sang Kekasih. Menunduk, tawadhu’, merayu dalam haru, lirih Kurnia berbisik pada Sang Raja.

“Oh, Allah, Yang Maha Pemurah betapa hamba sangat rindu menggenapkan agama dan jiwa hamba dengan sosok yang Kau pilihkan. Dan sekarang telah Kau hadirkan dia untukku. Bahkan dengan bonus istrinya. Yang selalu kusayangi seperti saudariku sendiri. Hamba sungguh bahagia dan bersyukur, dan Engkau tahu pasti betapa mekarnya hati hamba saat ini. Namun ada lagi yang ingin hamba mohon dariMu, Yaa Rahmaan. Mudahkan keluarga hamba untuk menerima keputusan hamba ini. Engkaulah yang Maha Membolak-balikkan hati, jadi hamba mohon padaMu.”

“Maksudmu, kamu akan menjadi istri kedua, Nduk?”

“Iya, Kek.”

Seperti biasa, Kakek pasti memandang mata Kurnia mencari kebenaran atau kegalauan di mata gadis itu. Dia tahu Kurnia gadis yang lurus, tak pernah sekalipun berbohong. Bahkan bohong putih pun tidak. Kurnia tak setuju dengan berbohong demi kebaikan, karena baginya dusta tetap dusta, tetap dosa, walaupun bukan dosa besar. Tapi dia tak suka menabung dosa. Dan sekarang di mata Kurnia, hanya nampak binar bahagia. Ini membuat hati Kakek Kurnia trenyuh. Kakek selalu menyayangi si genduk Kurnia. Apalagi Kurnia bilang dia sudah mantap setelah shalat istikharah. Cukup singkat, hanya dua minggu, cukup bagi Kurnia untuk menelisik hatinya dan memohon pilihan yang tepat dari Allah. Itu sudah cukup bagiku, gumam Kakek. Allah pasti tak akan menyia-nyiakan keikhlasan dan kesabaran cucuku.

Mata penuh tanya Kakek perlahan tapi pasti berubah menjadi mata yang penuh kemantapan. Bukan mata yang marah. Tapi mata yang menyetujui. Kurnia hampir melompat memeluk Kakeknya. Tapi dia berusaha mengontrol luapan kegembiraannya. Dia peluk Kakek sambil berbisik, “Kakek mau nikahkan Nia ya? Dengan Pak Shidiq? Yunia akan sangat bahagia saat kutelpon nanti, Kek.”

Kakek balas memeluk cucu tersayangnya. “Tentu Nia, tentu…” gumam Kakek penuh sayang sambil membelai punggung Nia yang tertutup jilbab marun.

Gemericik air kolam rumah Kakek terdengar jauh lebih merdu dari hari biasa. Angin meniup ujung jilbab Kurnia dengan membawa nyanyi tentang janji yang kuat ikatannya sampai kemudian hari nanti.

[by: Lin Wulynne]

No comments for "[Cerpen] Cerita Cinta Kurnia"