[Cerpen] Rintangan Yang Dilabuhkan Pada Cinta-Nya

Rintangan yang Dilabuhkan Pada Cinta-Nya
“Fit tangkeepp!!” teriakku sambil mengoper bola basket yang aku bawa ke Fitri. Dengan gesit Fitri menangkap bola operanku, di dribblenya bola basket yang ia bawa sambil melewati beberapa pemain lawan yang ada di hadapannya. “Yapp masukkk!! Skor bertambah dua untuk tim Atlantik!!” ucap sang komentator, setelah Fitri melakukan gaya layup saat memasukan Bola ke dalam keranjang. Fitri berlari ke arahku dan teman se-tim ku, kami mengacak-acak rambutnya sambil bersorak. Gegap gempita para penonton pun mengiringi bertambahnya skor kami. Hingga peluit tanda mulai berbunyi lagi.

Waktunya sempit untuk kita mempertahankan skor ini, kalo sampe tim Elang bisa bikin skor lagi, kita gak bisa masuk ke final. Batinku. Aku dan teman se-tim ku yang lain mencoba fokus lagi dalam permainan yang hanya tersisa 5 menit lagi!!

***

“yeeeee… Kita menang!!!” seruku ketika pertandingan selesai. “iya nih, untung tadi deffense-nya bagus. Jadi mereka gak bisa masuk ke daerah pertahanan kita.” Timpal Lila sambil mengurut dada. Kami berpelukan sebelum akhirnya kami masuk ke ruang ganti pemain untuk membereskan barang-barang kami. Wajah kami semuanya cerah karena kemenangan hari ini, dan itu artinya 1 bulan lagi kami akan bertanding di Final.

Lumayan ada waktu 2 minggu untuk istirahat sebelum fokus lagi sama latihan. Aku bergumam. “heh! Ngelamun aja!” ucap Lila sambil menyikut lenganku. “enggak lah. Siapa juga yang ngelamun, orang aku lagi mikirin buat pertandingan final nanti!” “iya deh mbak cantik.” Katanya sambil mencubit lenganku. “cantik-cantik! Buka mata, makanya!” “udah-udah. Kalian ini hereuy wae.” Fitri menengahi. Dia memang sudah sangat mengerti aku, karena aku memang sangat tidak suka di sebut cantik, manis, lucu, imut atau apapunlah yang tujuannya merayu. Yah ini lah aku bukan seorang gadis yang suka dengan hal-hal yang berbau feminin dan cewek banget.
Kami tertawa dan bercanda sepanjang perjalan pulang, tanpa aku sadari dua pasang mata sedang memperhatikanku…

***

Atikah Siti Qurrata ‘Ayun. Itulah namaku yang beberapa orang bilang namaku tuh Islami banget. Memang sih aku akui memang namaku ini sangat-sangat berbau Islami dan artinya indah, namun tetap saja aku tidak ingin seperti itu karena aku adalah cewek ‘tomboy’ yang sampai kapanpun tidak akan pernah mau feminin.
Kriiiing. Telefon berbunyi.
“Ka, ada telefon nih dari temen kamu!” Ucap Ibu ketika ia mengangkat telfon. “dari siapa bu?” “gatau, dia gak bilang. Katanya temen sekolah kamu!” “iya-iya Aka kebawah.”. bergegas aku menuju lantai bawah, karena memang kamarku berada di lantai atas.
“halo.”
“halo, dengan Atikah?” suara di seberang sana. Laki-laki.
“iya, maaf ini siapa?” tanyaku sambil mengerutkan dahi.
“ana temen sekolah anti.” Jawabnya singkat, yang semakin membuat kerutan di dahiku bertambah.
“anti? Nama saya kan Atikah. Kamu salah sambung ya?” todongku.
“afwan, anti itu artinya saudara perempuan dalam bahasa Arab.” Jawabnya kalem.
“ohh, iya-iya. Jadi nama kamu ana?” tanyaku lagi tanpa dosa.
“kalo ana itu artinya saya.” Jawabnya tetap dengan nada yang sama. Aku mengangguk seolah-olah mengerti.
“jadi kamu siapa? Ada perlu apa?” tanyaku lagi.
“ana hanya ingin mengajak anti untuk mengikuti kajian Ahad besok!”
“haaa?? Apa?? Kajian Ahad besok? Gak salah?” seruku kaget.
“iya ukhti. Ana tunggu ya besok di sekolah jam 8. Sukran sebelumnya. Wassalamu’alaikum wr. Wb.” Ditutupnya telfon itu, tanpa sempat sedikit pun aku menjawab. Selanjutnya aku hanya terdiam. Kajian? Besok? Siapa lagi itu?. Diamku pun tak dapat menjawab yang aku bingungkan sekarang. Kajian, haruskah aku datang ke acara itu??

***

Akhirnya aku datang ke kajian hari ini. Dengan satu tujan, hanya ingin tahu siapa yang meneleponku semalam!. Pak Trias mengantarku hingga gerbang sekolah dengan mobil. Selanjutnya aku masuk ke gerbang sekolah dan menuju masjid. Kulihat beberapa siswa yang ingin mengikuti kajian telah hadir. Namun tak kulihat satupun teman se-timku yang kemarin bertanding hadir. Aku menepuk jidatku.
“dodol! Ngapain juga anak basket dateng ke pengajian! Ahhh,, Bodoh-bodoh.” Sesalku, sambil masih menepuk jidatku. Terpaksa aku masuk ke masjid setelah sebelumnya aku mengisi daftar hadir di meja tamu. Kulihat beberapa siswa yang telah hadir asik berbincang, sedangkan aku? Tidak banyak yang aku kenal disini, karena memang ini bukanlah komunitasku.

Segan juga sih berada di dalam sini dengan ‘Para Penghuni Masjid’, begitulah aku menyebutnya. Masalahnya hari ini aku tidak menggunakan kerudung. Hanya bermodalkan celana jeans yang lumayan ketat dan kaos oblong yang di balut jaket. Beberapa anak awalnya menatapku heran, mungkin karena penampilanku. Tapi, aku cuek saja, toh memang niatku hari ini bukan ikut kajian. Hingga akhirnya, salah seorang dari mereka menghampiri aku. Yang ternyata dia adalah Fanny, aku lumayan mengenalnnya, karena kami pernah satu kelompok saat MOS dulu.
“baru pertama ikut kajian ya?” tanyanya lembut.
“iya nih Fan.” Jawabku.
“dapet info dari siapa kalo hari ada Kajian?” tanyanya lagi.
“sebenernya itu Fan yang ingin aku tau. Semalem ada yang nelfon aku, laki-laki, dan ngajakin aku ikut kajian hari ini. Terus aku gak tau itu siapa, dia cuma bilang emmm kata ana, anti sama ukhti. Kira-kira siapa Fan, laki-laki yang suka ngegunain bahasa kayak gitu?”
Fany tersenyum. “hampir semua ikhwan disini selalu begitu menyebutnya.” Aku menghela nafas. “terus kira-kira siapa ya, yang nelfon aku semalem?” Fanny hanya tersenyum tak menjawab, karena acara kajian hari ini memang akan dimulai.

***

“neng, kenapa ngelamun terus?” tanya pak Trias padaku. Aku hanya menggeleng. Pak Trias bungkam, dan sepanjang perjalanan Pak Trias tak berani bertanya apapun padaku.

Memang selepas acara Kajian tadi, aku jadi banyak merenung karena materi yang di sampaikan tadi begitu menusuk hatiku. Teringat kembali kata-kata Pak Ustadz yang tadi mengisi kajian.
“Bagi seorang wanita muslimah, di wajibkan kepadanya untuk menutup aurat. Seperti yang di firmankan Allah swt. Dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 59: ‘Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, dan istri-istri orang mukmin, “hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka labih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak di ganggu. Dan Allah Maha Pengampun Maha Penyayang.’ Sudah sangat terlihat jelas kan? Bahwa penggunaan Jilbab bukan merupakan budaya Arab seperti yang sering kita dengar saat ini. Pada saat ayat ini belum turun juga, bangsa Arab masih banyak yang membuka auratnya. Jadi penggunaan Jilbab ini adalah merupakan budaya umat muslim, selain sebagai Idientitas sebagai muslim, dapat juga sebagai penjaga dari diri kita. Melindungi kita dari hal-hal yang tidak diinginkan. Tak masalah jika akhlak kitanya belum baik, namun, jika niat yang telah tertanam dalam hati sudah kuat ingin berubah, maka itu akan lebih baik. Ketimbang kita menunggu-nunggu akhlak kita berubah sebelum memakai jilbab. Hati kita akan mengikuti jika luar kita telah baik. Selain itu juga pada pembahasan kali ini, kita dapat mengingatkan pada ikhwan untuk ikut andil dalam menjaga wanita muslimah. Oleh karena itu bagi para akhwat yang belum menggunakan jilbab, saya sarankan untuk segera menggunakannya untuk mendapati hidup yang lebih baik.” Jelas Ustadz.

Aku termenung lagi di meja belajarku. Berusaha memutar memori yang terdapat di otak atas apa yang selama ini telah aku lakukan. Saat basket aku mengenakan kaos tim yang sangat jelas membuka aurat, saat main, saat sekolah dan yang terutama saat tadi kajian. Aku tak malau dengan penampilanku, walau beberapa kali tadi Fanny menggenggam tanganku. Aku hanya tersenyum mendapatkan hidayah saat ikut kajian tadi. Hingga aku lupa niat awalku yang hanya ingin mencari tah siapa peneleponku semalam.
“oh iyaa!! Jadi aja lupa niat awal dateng kajian! Tapi gapapalah.” Aku tertunduk, merenung lagi. Kriiiiiiiiiinggg. Tiba-tiba telefon berbunyi mengagetkan aku yang saat itu sendirian di rumah. Bergegas aku ke lantai bawah meghampiri telefon.
“halo.”
“halo. Assalamu’alaikum.” jawab suara di seberang sana. Familiar, suara siapa ya??
“waalaikumsalam. Maaf ini siapa?” dia tak menjawab pertanyaanku
“ gimana tadi kajiannya?” tanya suara di seberang sana
“kajian?” mengingatkanku pada sesuatu.. oh iya! Batinku
“iya, tadi anti ikut kajian kan? Gimana acaranya?”
“sebelum saya jawab, kamu bilang dulu kamu siapa?” tanyaku, namun suara di seberang sana malah tertawa.
“nanti juga anti tau siapa saya. Semoga setelah anti mengikuti kajian tadi, anti dapat mengaplikasikannya pada kehidupan anti sehari-hari.”
“kamu beneran gak salah sambung kan? Memangnya kamu tau saya yang mana?” tanyaku polos
“siapa yang tidak kenal dengan Atikah Siti Qurrota ‘Ayun? Anak basket, yang tomboy. Bahkan tadi pun anti gak menggunakan kerudung kan?” jelasnya, yang membuat mukaku merah. Malu.
“iya-iya. Terus kenapa kamu ngajak saya kajian?”
“nanti juga anti tahu sendiri. Sudah ya, sudah malam. Afwan mengganggu Assalamualaikum.” Telefon di tutup.
“waalaikumsalam. Lagi-lagi, sebelum aku ngejawab udah di tutup. Ya udah.” Aku naik lagi ke lantai dua menuju kamarku. Apa yang tadi di katakan si penelepon sedikit membuat aku tersentak. jadi, selama ini orang” mengenalku seperti itu. Wanita yang tomboy. Rasanya ingin menangis jika mengingat hal itu.

Aku mengakui bahwa aku memang tomboy, itu karena aku tidak terlalu suka dengan kehidupan cewek yang harus modis dan bla..bla..bla.. namun, aku adalah seorang muslimah yang juga ingin di kenal. Seperti kata Ustadz tadi bahwa berpakaian muslim itu menjadi sebuah ciri bagi kita, dan yang aku lihat wanita-wanita ‘Para Penghuni Masjid.’ Tidak seperti wanita yang selama ini aku lihat. Mereka terlihat lembut, anggun namun berwibawa, dan di hargai setiap orang. Tidak sepert seorang wanita yang banyak menjadi sosoran para laki-laki.
Langit gelap berbintang, membuat aku merenung. Ditemani bulan purnama yang bersinar cerah, aku bertekad untuk berubah! Apaun resikonya.

***

Aku menghela nafas beberapa kali. Pak Trias yang hari ini mengantarkanku sekolah menatapku heran, dan memberanikan diri bertanya padaku.
“kenapa neng? Kayaknya ada masalah berat gitu?” tanyanya khawatir.
“bukan masalah sih pak. Saya masih belum sanggup nanggung semua resikonya.”
“resiko karena neng pake jilbab?” tanya Pak Trias yang langsung mengena ke hatiku. Aku mengangguk lemah.
“insyaAllah neng, selama niatnya Lillahi ta’ala. Pasti dimudahkan.” Ucapnya lagi menenangkan hatiku. Aku sedikit tenang dan mempersiapkan mental untuk menghadapi hari ini.

Aku turun dari mobil ketika sampai di depan gerbang sekolah, tanpa lupa mengucap salam pada Pak Trias. Kulangkahkan kakiku menuju kelas. Kurasakan beberapa pasang mata menatapku. Ku percepat langkahku, hingga seseorang menghentikan langkahku.
“Ka?? Aka?? Aku gak mimpikan??” tanya Lila sambil menguncang-guncangkan bahuku.
“kamu mau mimpi apa di pagi hari gini??”jawabku sekenanya. Jujur aku belum sanggup bertemu Lila atau Fitri. Partnerku di Basket.
“kamu pake jilbab? Gak permanent kan? Pertandingan Final nanti kamu tetap ikut kan?” tanya Lila bertubi-tubi yang membuat aku bingung menjawabnya. Aku diam.
“jawab Ka!”
“iya aku memang sudah berniat untuk memakai jilbab. Maaf sepertinya kita gak akan bisa bareng-bareng lagi di Basket. Pertandingan Final minggu depan pun sepertinya aku gak akan ikut.” Lila mengerenyit.
“kenapa Ka?”
“karena aku mau keluar dari Basket!”
“Apa!! Kamu mau keluar?? Gila kamu, ini langkah tinggal sedikit klagi untuk kita menjadi seorang pemenang!” Lila berteriak.
“ini sudah keputusanku Lil! Gak ada yang bisa menjamin sampai berapa lama kita hidup untuk bertaubat!” Lila mundur beberapa langkah, ketika mendengar pernyataanku barusan.
“terserah kamu Ka!! Aku benci dengan orang yang menghambat mimpi orang lain!” Lila lari meninggalkan aku. Ingin rasanya aku menangis, namun aku pun belum sampai ke kelas. Aku berlari menuju kelas, dan langsung terdiam di bangku. Menangis!!! Untungnya hari ini guru sedang ada rapat. Jadi aku masih bisa menangis puas.

Tatapan aneh itu kurasakan dari teman- teman sekelasku.Beberapa orang dari mereka menghampiriku, termasuk temanku yang Penghuni Masjid. Gilang. Tatapannya miris melihatku. Aku mengangkat dagu. Ku tatap matanya. Karena aku tahu, mungkin hanya dia yang mengerti keadaanku sekarang.
“boleh ana bicara berdua saja dengan Aka?” pintanya pada semua temanku yang ada di sekitarku. Mereka mengangguk mengiyakan, dan langsung menjauh dari kami. Ku sadari bahwa Gilang masih tetap menjaga jarak denganku, walaupun kami berbicara di kelas.
“anti kenapa?” tanyanya membuka pembicaraan.
“teman-teman basket ku Lang! Mereka gak terima kalo aku keluar dari Basket karena aku menggunakan Jilbab ini.” Ucapku sambil memegang jilbab yang aku kenakan.
“ ikut ana sebentar boleh?” ia berdiri mengajakku, aku mengikutinya. Ternyata dia membawaku ke Masjid. Yang aku lihat ada beberapa orang didalamnya sedang berbicara terhalang tirai dan rasanya pembicaraan itu serius. Gilang memintaku ke bagian akhwat yang terpisah. Ada Fanny disitu, ketika ia melihatku dihampirinya aku dan di rengkuhnya dalam pelukannya.
“sudah-sudah. Ana tahu apa yang menimpamu. Dan kita disini ada untuk membantu.” Ucapnya lembut hingga membuat aku kembali menangis.
“ini akan jadi masalah yang serius, jika ini menyangkut jati diri seorang muslimah. Dan pasti orang-orang yang kontra akan memerangi ini. Dan kita harus siapkan mental untuk menghadapi ini semua.” Kata salah seorang di balik tirai.
“itu siapa?” aku bertanya pada Fanny.
“Rangga. Ketua Irmas kita.” Aku mengagguk. Rangga, ikhwan yang sangat santun. Dan yang aku tahu ia selalu menunduk ketika berbicara dengan lawan jenis. Ikhwan yang baik. Batinku. Ia tak mengenalku, namun mau ikut andil dalam masalah ini.
Pembicaraan tentang masalah ini berlangsung lama diantara kami. Dan aku dapat jalan keluarnya, berserah diri pada Allah-lah salah satunya…

***

Hari-hari dimana aku benar-benar di uji. Cercaan dari regu basketku kian menjadi. Mereka benar-benar tak terima aku keluar dan menghambat mereka. Karena mereka bilang, aku kapten Basket yang paling baik. Namun aku tetap menolak karena berada di jalan Allah-lah yang terbaik untuk hidupku saat ini hingga nanti.

Fanny dan siswa Penghuni Masjid masih setia mensupport ku dengan berbagai cara. Walaupun mereka juga kena hinaannya. Namun tak pernah gentar dalam hati mereka. Karena hal ini merupakan perjuangan atas jalan Islam. Agar agama Islam tetap berjaya. Sekaligus untuk melindungi kehormatan para Muslimah.
Tak beda jauh dengan si ‘Penelepon’ yang sampai saat ini belum aku ketahui siapa orangnya. Dia selalu mensupport-ku walau tanpa nama. Kadang apa yang ucapkan atau SMS-kan padaku, sesuai dengan keadaan ku yang dapat membuatku kembali bersemangat.
Andai ana tahu siapa akhi.. batinku dalam hati.

***

Masa-masa SMA ku telah lama berakhir, dengan keadaan yan tak berubah. Namun akulah yang berubah. Menuju cinta-Nya yang lebih abadi. Aku dan Fanny melanjutkan kuliah ke Universitas yang sama. Sudah 3 semester kita lalui bersama. Ia adalah lilin yang takkan pernah pada untukku. Karena dialah yang selalu mensupportku disaat keadaanku tak baik. Dan dia yang selalu menjagaku agar aku tetap istiqamah menjalani kehidupan baruku.
Dan si ‘Penelepon’? tak kusangka, hingga saat ini ia masih setia menyemangati aku dengan telfon dan SMSnya, tanpa pernah aku tahu siapa orangnya.
“Fan, lama-lama aku sebel nih.” Ucapku pada Fanny.
“sebel kenapa sayang?”
“si ‘Penelepon’ itu loh, dia kan gitu. Aku takut ini gak di ridhai Allah . aku taku ini adalah termasuk zina Fan.” Fanny tak menjawab, ia hanya tersenyum misterius.
“ayolah Fan! Maunya kamu ngeliat saudaranya masuk neraka.” Fanny tersentak.
“enggaklah say. Mungkin aja dia mau ‘sesuatu’ ke kamu.”
“ihh Fanny.!”
“Ka, kalo misalkan ada ikhwan yang datang untuk meminta kamu jadi istrinya gimana?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.
“yeeee… malah nanya itu. Ya kan ada hadistnya, jika datang kepadamu seorang laki-laki yang baik agamanya, aka tak ada alasan bagimu untuk menolaknya. Ya aku siap aja, asalkan, laki-lakinya shalih mah.”
“oh gitu. Semoga aja ikhwannya cepet dateng ke kamu. Hehehehe.”
“ih dasarrr. Kok gitu ngomongnya.? Memangnya ada yang mau sama aku?”
Lagi-lagi Fanny hany tersenyum misterius…

***

“assalamu’alaikum Ka? Bisa ke rumah Ummi sekarang?” tanya suara di seberang sana. Ummi Raima. Murabbiku.
“waalaikumsallam. Bisa Ummi, ada apa?”
“pokoknya ke rumah Ummi sekarang penting! Fanny sudah ada disini.”
“baik Ummi, assalamualaikum.”
“waalaikumsallam.”
Ada apa ya?? Sampai-sampai Fanny udah ada disana.??

***

Setelah menerima telefon tadi, aku bergegas ke rumah Ummi. Dan sesampainya disana ada beberapa orang yang hadir dan terdapat pula hijab. Acara apa ini? Apakah ini proses ta’aruf? Tapi siapa? Fanny kah? Batinku di penuhi tanda tanya. Langsung aku masuk di sambut pulkan Fanny dan Ummi.
“ada apa ini Ummi.”
“ikut Ummi saja ya.” Aku menatap Fanny ketika Ummi melangkah duluan.
“kamu mau khitbahan?” tanyaku setengah tak percaya. Ia hanya tersenyum dan menarikku di antara hijab.
“assalamualaikum. Ukhti Atikah, maaf sebelumnya jika acara ini mengagetkan anti. Saya selaku murabbi dari seorang ikhwan, hanya ingin membantu mutarabbi saya untuk menjalankan Proses menggenapkan setengah diennya.” Ucap suara di balik hijab.

Aku mengerutkan dahi. Fanny menatapku penuh arti. Belum sempat aku bertanya pada Fanny, suara di seberang sana mengagetkan aku. Rasanya suara yang perna aku kenal.
“ukhti Aka. Saya datang kesini hari ini dengan niat baik. Saya bermaksud untuk ‘mengkhitbah’ ukhti, menjadi pendamping hidup saya, dengan berbagai pertimbangan yang telah saya lakukan.” Aku tercekat. Benarkah yang aku dengar barusan? Aku di khitbah? Tapi oleh siapa? Tanpa ku sadari air bening jatuh dari kelopak mataku. Fanny menggenggam tanganku erat. Ku beranikan diri untuk bicara.
“jika memang maksud antum baik ingin mengkhitbah ana. Izinkan saya bertanya, siapa antum?”
“sayalah si ‘Penelepon’.” Jawabnya singkat, yang membuat aku semakin bingung. Aku sama sekali tak percaya. Si penelepon?? Aku terdiam dan sadar, ini memang suaranya yang sering aku dengar saat si ‘Penelepon’ menelefonku.
“ana ingin tahu idientitas antum yang sebenarnya.” Tanyaku memberanikan diri lagi.
“anti kenal ana. Ana Rangga Saputra teman sekolah anti dan Fanny di SMA.” Ucapnya lembut.

Aku tersentak. Rangga?? Jadi selama ini penelepon itu Rangga. Langit bagaikan Runtuh menimpaku. Aku tercekat tak mampu berkata apapun. Ini semua di luar dugaanku!!
“ana bersungguh-sungguh dalam hal ini ukh. Ana melihat banyak kebaikan dalam diri anti yang mesti di pertahankan. Dan ana siap untuk mendampingi anti mempertahankan hal itu.” Dia kembali bersuara. Aku menangis sejadi-jadinya.
“apakah anti mau menerima lamaran ana?” aku terdiam teringat perbincanganku dengan Fanny kemarin. Dan sekarang Ikhwan baik itu datang. Tak mungkin aku tolak.
“ana bersedia akh, jika inilah yang di kehendaki oleh Allah.” Jawabku lembut.
Terdengar beberapa orang mengucapkan hamdallah termasuk Ummi dan Fanny. Fanny memelukku seraya berkata. “selamat ukh, dirimu mendapatkan ikhwan yang baik iman islamnya.” Aku mengangguk. Sungguh Ya Rabb semua ini begitu tak terduga, dan begitu indah. Sukran telah memberikan aku sesuatu yang amat baik. Dan aku berjanji akan menjadi yang amat baik pula baginya…

Sungguh karunia Allah begitu indah……

[Penulis : Siti Rahma Novyani]

No comments for "[Cerpen] Rintangan Yang Dilabuhkan Pada Cinta-Nya"