[Cerpen] Bidadari Tak Bersayap

Bidadari Tak Bersayap
"Ini bukan apa yang kita permasalahkan kemarin." kata Novi, dengan mata berkaca-kaca. Tubuhnya setengah gemetar menahan air mata yang hanya sekali hantaman kata saja sudah mengucur deras.
Tere diam menatapi tubuh kakaknya yang gemetar dihadapannya. Bahkan mulutnya terasa terkunci rapat. Desiran angin mempermainkan helaian jilbab kakaknya yang panjang. Beda dengan dirinya, ia masih belum bisa menutup auratnya. Rambut hitam panjangnya terlihat berkilau terkena matahari siang itu. Hembusan angin sedikit memberikan kesejukan ditengah dahaga yang sangat membuatnya ingin langsung minum sebanyak-banyaknya.
"Tap…" Kata Tere sebelum di potong Novi yang masih berdiri kaku dihadapannya.
"Kau tau, ini menyangkut masa depanmu, Re." Novi menatap adiknya begitu dalam, lekat dan enggan tuk berpaling sedetikpun.
"Tapi, mba. Bukan itu, aku tak menginginkannya. Sama sekali tidak. Itu bukan masa depanku. Tapi itu yang terbaik menurut mba." Kata Tere, merundukkan kepala. Menatap kedua bola mata kecoklatan kakaknya hanya membuatnya makin tersayat-sayat. Mata itu mengingatkan dirinya terhadap almarhum ayahnya yang meninggal karena penyakit jantung yang sudah sangat parah. Di dunia ini tidak ada yang rela mendonorkan jantungnya. Itu sama saja mendonorkan nyawanya untuk orang lain.

Tere terdiam kembali ketika terdengar tangisan Novi tumpah.
"Sudah mba, jangan nangis. Aku ngga bisa. Tolong ngertiin aku." Tere peluk tubuh kakaknya dengan erat, makin erat hingga ia bisa merasakan detak jantung kakaknya yang meninggi. Ia bisa merasakan hembusan hangat napas kakaknya.
"Aku janji, semua akan baik-baik saja." Kata Tere mencoba meyakinkan kakaknya.
"Tapi… Mba ngga mau kehilangan kamu." kata Novi susah payah. "Mba sayang sama kamu. Kamu tau itu?" Lanjutnya masih dalam pelukan adiknya.
"Tanpa mba ucapkan aku tahu." Jawab Tere tersenyum dibalik pundak kakaknya.

Malam itu Tere duduk bersila dibawah pohon mangga yang cukup rindang di pelataran rumahnya. Sayup-sayup angin terdengar syadu di telinganya. Rinai cahaya rembulan sabit nampak tersenyum menyaksikannya. Menyaksikan kesendiriannya dalam malam. Ia rapatkan kembali kain tebal yang membungkus tubuhnya. Karena angin malam itu cukup tidak bersahabat.
Diam-diam Tere menatap langit dan mencari satu bintang. Ia teringat saat ia duduk berdua dengan Ayahnya di tempat yang sama seperti ini. Dibawah pohon, bertaburkan bintang dan bulan sabit yang indah. Terlalu indah memori itu untuk dilupakkannya. Ayah selalu memilih bintang yang paling redup di atas sana. Beda dengan dirinya. Ia selalu ingin menjadi yang paling terang.

"Kenapa, Papa pilih bintang yang redup?" Katanya dengan nada polos.
"Karena bintang yang redup itu ngga perlu energi banyak. Dan umurnya juga panjang. Papa, pengen ngelihat anak-anak Papa tumbuh jadi wanita yang hebat kelak. Makanya Papa, berharap umur papa bisa panjang." Jelasnya dengan membelai rambut anaknya.
Tere hanya tersenyum mengingat memori itu.
Ditengah sayupnya malam, terdengar suara yang begitu indah dari dalam rumah. Novi selalu seperti itu, berhasil membuat Tere jatuh cinta kalau kakaknya sedang membaca Al-Qur'an dengan khusuk.
Novi itu seperti bidadari, jiwanya lembut, penuh kasih sayang, penuh pengertian dan membahagiakan. Novi adalah motivasi Tere. Ia memang tidak bisa sehebat kakaknya.
Tapi hari esok ia ingin sekali menutup auratnya. Menutup perhiasan yang semestinya tidak ia tampakkan. Tere sadar itu, namun hatinya masih belum seutuhnya bisa.
"Berjilbab itu kewajiban, de. Bukan siap ngga siap?" Kata Novi suatu hari yang sedang sibuk menyiapkan makan siang bersama ibunya.
Tere tersenyum dimeja makan dengan melihati langkah kakaknya.
"Kita sebagai kaum perempuan harus bisa menjaga apa yang harus kita jaga. Untuk suami kita kelak. Toh dengan berjilbab juga masih bisa terlihat grily bukan?" Lanjut Novi nampak lebih cerewet.
Kakaknya memang selalu seperti itu. Cerewet, tapi dalam hal kebaikan. Dia lebih suka sesuatu yang indah.

"Bulannya indah." Terdengar suara yang sangat dikenalnya menyadarkan Tere dari lamunan panjangnya.

Tere mengangguk setuju dan memberikan tempat untuk Novi.
"Udah malam, tidur gih. Besokkan saur." Kata Novi dengan nada lembut.
"Nanti Mba, masih belum ngantuk. Tapi mba tidur aja dulu. Nanti aku menyusul." Tere tersenyum lekat kearah Novi.

"Mba, nanti antar aku buat beli baju muslim dan jilbab yah. Sekalian kita belanja buat acara buka bersama di panti asuhan Anisa, di desa sebelah." Kata Tere membantu membersihkan meja makan dari sisa-sisa santap saur.
Novi menghentikan gerakannya. Memandangi adiknya dengan sejuta keheranan.
"Semalam kamu mimpi apa de?" Jawab Novi dengan nada bercanda.
"Tentu saja mimpi ketemu bidadari tak bersayap. Nih bidadarinya." kata Tere menunjuk kearah kakaknya.
Mereka tertawa pelan. Disaksikan ibunya yang nampak bahagia melihat dua putrinya sangat akur.
"Tentu saja mba mau, de. Teramat sangat malah."
Pagi itu setelah beres-beres rumah mereka bersiap menuju pasar. Sesuai dengan apa yang mereka rencakan sebelumnya. Novi lebih asik memilihkan busana muslim untuk adiknya. Sedangkan Tere hanya senyum dan terima iya saja. Sembari mencari-cari bahan makanan yang akan mereka buat untuk anak yatim puatu di panti.
"Kayanya kita bawa es cream aja deh mba, kalau es cendol udah biasa. Kampungan." Tendas Tere, ketika mendapati Novi bersih kukuh ingin buat es cendol untuk minumannya.
"Tapi, de. Enakan es cendol daripada es cream." Novi masih tak mau kalah.
"Mba ku sayang yang baik hatinya. Mereka udah bosen kalau buka bersama sama kita makannya es cendol melulu. Kali-kali diajak makan es cream pasti mereka senang." Rayu Tere yang akhirnya membaut kakaknya angkat tangan dan mengiyakan.
Tere memang selalu mampu membuat hatinya luluh lantak ketika mendengar rengekannya.

"Kamu cantik." Kata Novi ketika melihat adiknya begitu anggun dengan balutan busana muslim warna merah muda yang nampak cocok dengan warna kulit Tere yang putih.
"Iya dong. Masa guanteng. Ga lucu banget ah." Kata Tere tertawa geli." Yukz, berangkat. Aku udah kangen pengen nyubit pipi Alila si bidadari kecil yang menggemaskan itu." Lanjutnya segera pamit.
Mereka berdua mulai menuju ke panti asuhan. Sampai di sana mereka di sambut keramaian lari-lari kecil dari anak-anak yang sudah mereka anggap sebagai adik.
"Halo Alila." Kata Tere menggendong anak berusia tiga tahun yang imutnya minta ampun. Di usianya yang sekecil itu, gadis mungil itu selalu bisa membuatnya tersenyum bahagia.
"Mba Tele, puasa Lila, udah setengah hali. Hebat kan?" kata Alila yang masih belum bisa menyebutkan huruf "R" dengan jelas.
Tere hanya tersenyum. Dan mengiyakan.
Acara buka bersama sederhana itu biosa menjadi sangat meriah karena sedari tadi Alila terus-terusan bercerita panjang lebar tentang kegiatannya hari ini.

Di hari ke lima puasa. Tere tengah berdiri di ruang tunggu di salah satu rumah sakit swasta yang cukup lengkap fasilitasnya. Ia menanti hasil ronsen dan tes darah di laboratorium.
"Tere Hamagyo."
Mendengar namanya dipanggil. Ia segera masuk ke ruang dengan perasaan yang dag-dig-dug. entah apa yang terjadi pada tubuhnya.
"Selamat siang dok." Sapa Dere membenahi posisi jilbabnya.
Dokter itu tersenyum yang menyiratkan banyak arti.
"Gimana hasil tesnya? Saya baik-baik saja kan?" Kata Tere sedikit ragu.
Dokter itu menggeleng." Memprihatinkan. Anda terkena kanker otak yang cukup berbahaya. Kalau penyakit ini diketahui dari awal mungkin ada kesempatan untuk sembuh.

Tapi kalau masalahnya seperti ini saya angkat tangan. Melakukan operasi pun akan percuma."
Mendengar perkataan itu membuatnya makin tidak percaya. Seperti terjatuh dari tempat yang paling tinggi. Air matanya tanpa sadar menetes, tapi dengan cepat disekanya. Ia mencoba tersenyum kepada dokter dihadapannya.
"Terimakasih dok." Katanya singkat dan membawa hasil itu.
Mba Novi dan ibu tidak boleh tau akan hal ini. Penyakit jantung mba Novi yang sama-sama berbahayanya seperti yang pernah dialami Papa saja sudah membuat aku miris. Gumamnya dalam hati. Ia selipkan hasil itu di dalam tasnya.

Semenjak itu. Ia menyempatkan diri untuk selalu dekat dengan Novi dan ibunya. Di hari lebaran ini, Novi nampak bersinar-sinar ketika mendapatkan informasi bahwa ada seorang yang mau mendonorkan jantunya untuk Novi.
"De, berjiwa besar sekali orang itu. Kenapa ia mau mendonorkan organ paling bermanfaat itu untuk mba, yah." Kata Novi mengambil nastar di meja.
"Tentu saja mba, dia pasti the best. Mau menukarkan hidupnya untuk orang lain. Itu artinya mba masih diberi kesempatan untuk menyebar lebih banyak kebaikan." Kata Tere memandangi wajah Novi.
"Itu pasti de. Aku bisa lebih lama liat kamu, lihat ibu. Yang pasti aku bisa lihat kamu dengan baju pengantin dengan wajah yang memerah di pelaminan. Duhhh, ngga sabar." Kata Novi tak sadar meremat tangan adiknya begitu erat.
Tere tersenyum." Mba siap-siap saja yah, lusa kan mba ke Singapure untuk menjalani operasi jantung mba. Aku disini menanti mba. Aku janji." Kata Tere memeluk tubuh Novi.
Air mata Tere tak tertahankan. Ia menangis dipelukan Novi.

Novi tidak sabar menanti kepulangannya ke Indonesia. Setelah operasi yang dilewatinya cukup sukses. Tubuhnya terasa lebih bergairah dan segar hari itu. Ibunya ikut mendampinginya sejak awal.
Sesampainya di rumah. Novi terdiam. Ia mencari sosok Tere dari kamar hingga ke teras belakang. Anak itu tidak nampak. Biasanya Tere selalu ceria menyambutnya kembali. Tapi hari itu tidak nampak kehidupan di rumahnya. Ia kembali lagi ke kamar Tere. Diambilnya bingkai foto yang diambil saat di panti asuhan. Senyum Tere yang merekAh. Membangkitkan rasa rindunya kepada adiknya itu.
Dan tiba-tiba tangannya menyentuh sebuah amplop berwarna coklat yang tergeletak diatas tempat tidur Tere.
Dibukanya amplop itu dengan rasa penasaran.
Ada sebuah surat di dalamnya. Ia buka perlahan.

"Untuk Mba aku yang paling baik hatinya SEDUNIA

Mba…..
Selamat yah. Ups lupa
Assalamualaikum.Wr.Wb
Aku bahagia banget, hari ini mba bisa baca tulisan aku yang mba bilang mirip tulisan anak TK. Tapi aku berusaha nulis bagus loh. Mba harus hargai itu oke. Hehehe,,
Em,,,, sekali lagi selamat menempuh hidup kedua mba. Senyum dong buat aku!! Ayo lah, senyuman mba itu selalu berhasil memikat. Kalau aku laki-laki pasti aku udah naksir mba duluan, heheh (bercanda mba)

Oh iya mba, maaf yah. Aku ga bisa nemenin mba operasi di Singapura, mba tau sendiri. Adik mba yang genit ini selalu memiliki segudang kegiatan yang super duper menyebalkan. Itu menurut mba, kalau menurut aku. Em, ga seperti itu. Tapi mba udah merasa baikan kan??? Harus dong.
Terus aku juga minta maaf lagi. (Mba harus siap kata "Iya Aku maafin kamu" yang banyak yah? Karena aku bakalan minta maaf banyak banget nih, lebaran kemarin kurang kayanya)
Lanjut…
Aku minta maaf ga bisa penuhi janji untuk menyambut mba hari ini. Tapi melalu surat ini aku mencoba untuk penuhi itu.
Maafin yah,  [:)]
Maaf yang selanjutnya, tapi sebelumnya mba ga boleh sedih. Em,, kalau mau nangis ngga apa deh, aku nulisnya juga sambil nangis. Nangis darah, karena ga bisa liat mba lagi.
Mungkin saat mba baca ini, aku udah ada syurga (amiiiin).
Aku di fonis terkena kanker otak stadium akhir. Dokter sudah angkat tangan masalah itu. Dan aku ngga mau menceritakan ini kepada mba maupun ibu.
Aku curhat sama Allah. Kalau memang aku harus cepat kembali kepada-Nya. Aku pengen banget menghadiahkan kado terindah untuk keluarga kecilku.
Mba, aku pergi ngga seutuhnya pergi dari mba. Aku bahagia ninggalin mba yang cerewet bin bawel itu. Aku bahagia karena jantungku ada pada tubuh mba……."

Membaca bagian akhir itu sontak menyesakkan dadanya. Air matanya berliang deras.
"Tereeeeeeeeeeeeeeeeeee……." Kata Novi dengan suara yang cukup keras dan sesegukan karena menahan derai air matanya.
"Kamu, jahat. Kenapa kamu relakan hidupmu untuk aku." katanya menatap wajah Tere di bingkai foto.
Ia melanjutkan kembali membaca surat dari Tere.

"………… Aku ga mau kehilangan mba sepeti kehilangan Papa. Aku berharap bisa bertemu Papa disini mba. Di rumah masa depan kita (kuburan). Mba jangan nangis dong, yah yah. Mba doain aku aja terus. Semoga taubat aku diterima sama Allah. Aku memang bukan wanita sempurna seperti mba. Tapi aku berusaha untuk menjadi seorang wanita yang berhati lembut seperti mba, dan aku belajar itu semasa hidupku.
Udah yah mba. Di amplop ini ada hasil pemeriksaan penyakitku dan hasil ronsennya. Kalau mba mau buang. Buang aja ngga papa yang penting setelah ini mba ga boleh nangis.
Aku dimakamin di samping Papa. Mba ke sana aja kalau mau menjengukku.
Dahhhhhh…. Mba, maafin aku yah….
Wassalamualaikum.Wr.Wb…"

Entah berapa banyak air mata yang keluar dari mata Novi hingga tulisan Tere menjadi kabur karena basah.
"Mba maafin kamu kok de. Akan mba jaga jantung kamu ini. Selalu. Hidupmu juga hidupku sayang." Kata Novi memegangi foto dengan gemetaran.

Sore itu Novi dan ibunya mengunjungi makam Tere dan Ayah. Benar saja. Tere sudah tidak ada di dunia ini. Tidak ada lagi senyum konyol dari anak itu. Novi masih ingat raut wajah Tere yang nampak indah bak bidadari itu mengenakan baju muslim dan mulai membulatkan niatannya untuk berhijab. Belajar membaca al-quran bersama dirinya. Novi tak akan pernah lupa masa terakhir kontrak hidup Tere bersamanya. Terlalu indah.

Tere sosok yang simple ngga suka neko-neko, dan dia berjiwa besar. Mau memberikan jantungnya untuk Novi.

"…..Dok hidup aku kan tinggal 14 hari lagi. Aku pengen donorin jantung aku untuk mba Novi." Kata Tere dengan wajah yang pucat pasi, tubuhnya lemas dan makin kurus.
Tere sengaja mendatangi dokter pribadi kakaknya itu. Sebelumnya ia sudah menceritakan tentang penyakitnya. Dan dokter itu menyetujui.

"Aku bahagia melihat mba Novi bisa tersenyum lagi." Katanya dihadapan dokter sebelum operasi pengambilan jantungnya hari itu.

[Penulis: Heni Purwaningsih]

No comments for "[Cerpen] Bidadari Tak Bersayap"