Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana

Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana

Hari Sabtu atau Minggu emank paling enak dibuat istrirahat, jalan-jalan, kumpul sama teman atau keluarga, atau melakukan hal lainnya untuk sekedar melepaskan penat. Oleh karena itu mulai hari ini postingan hari sabtu minggu (jika sempet untuk posting tapi..) akan berisi postingan yang ringan-ringan saja, enak dibaca dan tidak menimbulkan pusing hehe...misalnya postingan berisi tentang cerpen, tempat wisata atau hal lainnya yang dapat menghilangkan penat.

Postingan dibawah ini berisi cerpen yang mungkin enak dibaca kali yah, klo gak enak jangan muntah ya hehe..

Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana

Aku memandang kalender yang terletak di meja dengan kesal. Sabtu, 30 Agustus 2012, hari ulang tahun perkawainan kami yang ketiga. Dan untuk ketiga kalinya pula Aa' lupa. Ulang tahun pertama, Aa' lupa karena harus rapat dengan direksi untuk menyelesaikan beberapa masalah keuangan perusahaan. Sebagai direktur keuangan, Aa' memang berkewajiban menyelesaikan masalah tersebut. Baiklah aku maklum. Persoalan waktu itu memang lumayan pelik.

Ulang tahun kedua, Aa' harus keluar kota untuk melakukan persentasi. Kesibukannya membuatnya lupa. Dan setelah minta maaf, waktu aku menyatakan kekesalanku dengan kalem ia menyahut, "Dik toh aku sudah membuktikan cintaku sepanjang tahun. Hari itu tidak dirayakan kan tidak apa-apa. Cinta kan tidak butuh upacara..."

Sekarang, pagi-pagi ia sudah pamit ke kantor karena harus menyiapakan beberapa dokumen rapat. Ia bangun saat aku berada di kamar mandi. Aku memang sengaja tidak mengingatkannya tentang ulang tahun pernikahan kami. Aku ingin mengujinya, apakah ia ingat atau tidak kali ini. Nyatanya? Aku menarik napas panjang.

Heran, apa sih susahnya mengingat hari ulang tahun perkawinan sendiri? Aku mendengus kesal. Aa' memang berbeda dengan aku. Ia kalem dan tidak ekspresif, apalagi romantis. Maka, tidak ada bunga pada momen-momen istimewa atau puisi yang dituliskan di selembar kertas merah muda seperti yang sering kubayangkan saat sebelum aku menikah.

Sedangkan aku, ekspresif dan romantis. Aku selalu memberikan hadiah dengan kata-kata manis setiap hari ulang tahunnya. Aku juga tidak lupa mengucapakan berpuluh kali kata I love you setiap minggu. Mengirim pesan, bahkan puisi lewat sms saat ia keluar kota. Pokoknya, bagiku cinta harus diekspresikan dengan jelas. Karena kejelasan juga bagian dari cinta.

Aku tahu, kalau aku mencintai Aa', aku harus menerimanya apa adanya. Tetapi, masak sih orang tidak mau berubah dan belajar? Bukankah aku sudah mengajarinya untuk bersikap lebih romantis? Ah, pokoknya aku kesal titik. Dan semua menjadi tidak menyenagkan bagiku. Aku uring-uringan. Aa' jadi benar-benar menyebalkan di mataku. Aku mulai menghitung-hitung waktu dan perhatian yang diberikannya kepadaku dalam tiga tahun perkawinan kami. Tidak ada akhir minggu yang santai. Jarang sekali kami pergi berdua untuk makan malam di luar. Waktu luang biasanya dihabiskan untuk tidur sepanjang hari. Jadilah aku manyun sendiri hampir setiap hari minggu dan cuma bisa memandangnya mendengkur dengan manis di tempat tidur.

Rasa kesalku semakin menjadi. Apalagi, hubungan kami seminggu ini memang sedang tidak baik, Kami berdua sama-sama letih. Pekerjaan yang bertumpuk di tempat tugas kami masing-masing membuat kami bertemu di rumah dalam keadaan sama-sama letih dan mudah tersinggung satu sama lain. Jadilah, beberapa kali kami bertengkar minggu ini.

Sebenarnya, hari ini aku sudah mengosongkan semua jadwal kegiatanku. Aku ingin berdua saja dengannya hari ini dan melakukan berbagai hal menyenagkan. Mestinya, sabtu ini ia libur. Tetapi, begitulah Aa'. Sulit sekali meninggalkan perkerjaannya, bahkan pada akhir pekan seperti ini. Mungkin, karena kami belum mempunyai anak. Sehingga ia tidak merasa perlu untuk meluangkan waktu pada akhir pekan seperti ini.

"Hen, kamu yakin mau menerima lamaran A' ridwan?" Diah sahabatku menatapku heran. "Kakakku itu enggak romantis lho. Tidak seperti suami romantis yang sering kau bayangkan. Dia itu tipe laki-laki serius yang hobinya bekerja keras. Baik sih, soleh, setia... Tapi enggak humoris. Pokoknya hidup sama dia itu datar. Rutin dan membosankan. Isinya cuma kerja, kerja dan kerja..." Diah menyambung panjang lebar. Aku cuma senyum-senyum saja saat itu. Aa' memang menanyakan kesedianku untuk menerima lamaranku lewat Diah.

"Kamu kok gitu, sih? Enggak seneng ya kalau aku jadi kakak iparmu?" tanyaku sambil cemberut. Diah tertawa melihatku. "Yah, yang seperti ini mah tidak akan dilayani. Paling ditinggal pergi sama A' Ridwan." Diah tertawa geli. "Kamu belum tahu kakakku, sih!" Tetapi apapun kata Diah, aku telah bertekad untuk menerima lamaran Aa'. Aku yakin kami bisa saling menyesuaikan diri. Toh ia laki-laki yang baik. Itu sudah lebih dari cukup buatku.

Minggu-minggu pertama setelah perkawinan kami tidak banyak masalah berarti. Seperti layaknya pengantin baru, Aa' berusaha romantis. Dan aku senang. Tetapi, semua berakhir saat masa cutinya berakhir.  Ia segera berkutat dengan segala kesibukannya, tujuh hari dalam seminggu. Hampir tidak ada waktu yang tersisa untukku. Ceritaku yang antusias sering hanya ditanggapinya dengan ehm, oh, begitu ya... Itu pun sambil terkantuk-kantuk memeluk guling. Dan, aku yang telam berjam-jam menunggunya untuk bercerita lantas kehilangan selera untuk melanjutkan cerita.

Begitulah, aku berusaha mengerti menerimannya. Tetapi pagi ini, kekesalanku kepadanya benar-benar mencapai puncak. Aku izin ke rumah ibu. Kukirim sms singkat kepadanya. Kutunggu. Satu jam kemudian baru kuterima jawabannya. Maaf, aku sedang rapat. Hati-hati. Salam untuk Ibu. Tuh, kan. Liht. Bahkan ia membutuhkan waktu satu jam untuk membalas smsku. Rapat, persentasi, laporan keuangan, itulah saingan merebut perhatian suamiku.

Aku langsung masuk ke bekas kamarku yang sekarang ditempati Riri adikku. Kuhempaskan tubuhku dengan kesal. Aku baru saja akan memejamkan mataku saat samar-samar kudengar Ibu mengetuk pintu. Aku bangkit dengan malas.

"Kenapa Hen? Ada masalah dengan Ridwan?" Ibu membuka percakapan tanpa basa-basi. Aku mengangguk. Ibu memang tidak bisa dibohongi. Ia selalu berhasil menebak dengan jitu.

Walau awalnya tesendat, akhirnya aku bercerita juga kepada Ibu. Mataku berkaca-kaca. Aku menumpahkan kekesalanku kepada Ibu. Ibu tersenyum mendengar ceritaku. Ia mengusap rambutku. "Hen, mungkin semua ini salah Ibu dan Bapak yang terlalu memanjakan kamu. Sehingga kamu menjadi terganggu dengan sikap suamimu. Cobalah, Hen pikirkan baik-baik. Apa kekurangan Ridwan? Ia suami yang baik. Setia, jujur dan pekerja keras. Ridwan itu tidak pernah kasar sama kamu, rajin ibadah. Ia juga baik dan hormat kepada Ibu dan Bapak. Tidak semua suami seperti dia, Hen. Banyak orang yang dizholimi suaminya. Na'udzubillah!" Kata Ibu.

Aku terdiam. Yah betul sih yang apa yang dikatakan Ibu. "Tapi Bu, dia itu keterlaluan sekali. Masak ulang tahun perkawinan sendiri tiga kali lupa. Lagi pula, dia itu sama sekali tidak punya waktu buat aku. Aku kan istrinya, bu. Bukan cuma bagian dari perabot rumah tangga yang hanya perlu ditengok sekali-kali," Aku masih kesal. Walaupun dalam hati aku membenarkan apa yang diucapakan Ibu.

Ya, selain sifat kurang romantisnya, sebenarnya apa kekurangan Aa'? Hampir tidak ada. Sebenarnya. ia berusaha sekuat tenaga mambahagiakanku dengan caranya sendiri. Ia selalu mendorongku untuk menambah ilmu dan memperluas wawasanku. Ia juga selalu menyemangatiku untuk lebih rajin beribadah dan selalu berbaik sangka kepada orang lain. Soal kesetiaan? Tidak diragukan. Diah satu kantor dengannya. Dan ia selalu bercerita denganku bagaimana Aa' bersikap terhadap rekan-rekan wanitanya di kantor. Aa' tidak pernah meladeni ajakan Anita yang tidak juga bosan menggoda dan mengajaknya kencan. Padahal kalau mau, dengan penampilannya yang selalu rapi dan cool seperti itu, tidak sulit buatnya menarik perhatian lawan jenis.

"Hen, kalau kamu merasa uring-uringan seperti itu, sebenarnya bukan Ridwan yang bermasalah. Persoalannaya hanya satu, kamu kehilangan rasa syukur..." Ibu berkata tenang.

Aku memandang Ibu. Perkataan Ibu benar-benar menohokku. Ya, Ibu benar. Aku kehilangan rasa syukur. Bukankah baru dua minggu yang lalu aku membujuk Ranti, salah seorang sahabatku yang stres karena suaminya berselingkuh dengan wanita lain dan sangat kasar kepadanya? Bukankan aku yang mengajaknya kedokter untuk mengobati memar yang ada di beberapa bagian tubuhnya karena dipukuli suaminya?

Pelan-pelan rasa bersalah timbul dalam hatiku. Kalau memang aku ingin menghabiskan waktu dengannya hari ini, mengapa aku tidak mengatakannya jauh-jauh hari agar ia bisa mengatur jadwalnya? Bukankah aku bisa mengingatkannya dengan manis bahwa aku ingin pergi dengannya berdua saja hari ini. Mengapa aku tidak mencoba mengatakan kepadanya, bahwa aku ingin ia bersikap lebih romantis? Bahwa aku meresa tersisih karena kesibukannya? Bahwa aku sebenarnya  takut tidak lagi dicintai?

Aku segera pamit kepada Ibu. Aku bergegas pulang untuk membereskan rumah dan menyiapkan makan malam yang romantis di rumah. Aku tidak memberitahunya. Aku ingin membuat kejutan untuknya.

Makan malam sudah siap. Aku menyiapkan masakan kegemaran Aa' lengkap dengan rangkaian mawar merah di meja makan. Jam tujuh malam, Aa' belum pulang. Aku menunggu dengan sabar. Jam sembilan malam, aku hanya menerima smsnya. Maaf aku terlambat pulang. Tugasku belum selesai. Makanan di meja sudah dingin. Mataku sudah berat, tetapi aku menunggunya di ruan tamu.

Aku terbangun dengan kaget. Ya Allah, akut tertidur. Kulirik jam dinding, jam 11 malam. Aku bangkit. Seikat mawar merah tergeletak di meja. Di sebelahnya, tergeletak kartu ucapan dan kotak perhiasan mungil. Aa' tertidur pulas dikarpet. Ia belum membuka dasi dan kaos kakinya.

Ku ambil kartu ucapan itu dan kubuka. Sebait puisi membuatku tersenyum.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Lewat kata yang tak sempat disampaikan awan kepada air yang menjadikannya tiada
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu

-----
[karya : Sapardi Djoko Damono]

No comments for "Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana"